NASIONAL – Di sepanjang pekan lalu, harga batu bara termal kontrak futures Newcastle mengalami penurunan yang signifikan. Harga komoditas batu bara kian terpuruk seiring dengan kurang bergairahnya pasar batu bara seaborne (jalur laut) di kawasan Asia Pasifik di tengah merebaknya pandemi corona.
Harga batu bara termal Australia mengalami koreksi pada Jumat (17/4/2020) pekan lalu. Di hari terakhir perdagangan, harga batu bara turun tipis 0,09% ke level US$ 56,3/barel. Namun secara mingguan harga batu bara termal acuan telah ambles 5,22% (week on week/wow)
Ada dua faktor pemicu utama amblesnya harga batu bara. Pertama, ada tanda-tanda dua negara konsumen batu bara terbesar di dunia yakni China dan India lebih memilih pasokan batu bara domestik ketimbang impor.
Dimulai dari China terlebih dahulu, harga batu bara lokal yang sudah ambles 13,6% dari puncaknya tahun ini sebesar 573 yuan ($ 80,99) per ton pada 26 Februari menjadi 473 yuan pada hari Rabu pekan lalu.
Ini berarti bahwa pihak berwenang sekali lagi dapat mendorong pedagang dan pembangkit listrik untuk membatasi impor batu bara termal, dan beralih mendorong permintaan dan harga domestik. Artinya ini akan jadi masalah untuk kinerja impor batu bara China di bulan Mei dan Juni.
Prospek permintaan batu bara India untuk bulan Mei dan selanjutnya juga tampak suram seiring dengan pemberlakuan lockdown nasional di negara tersebut.
Menteri batu bara India telah menulis surat yang isinya mendukung pembelian batu bara lokal dari pada impor, melansir Economic Times. Tentu hal ini juga akan menekan permintaan batu bara impor terutama dari Indonesia yang memasok batu bara berkalori rendah harga murah ke India.
Selain adanya potensi penurunan impor akibat kebijakan yang mungkin diambil oleh kedua negara tersebut, harga batu bara juga ikut tertekan dengan kinerja impor si batu hitam di negara-negara konsumennya di kawasan Asia.
Salah satu indikator pelemahan yang terjadi adalah aktivitas bongkar muat di pelabuhan di negara-negara importir batu bara terbesar seperti China, India dan Jepang pada paruh pertama April ini mengalami perlambatan.
Impor batu bara China sebenarnya sudah loyo pada dua pekan awal bulan April ini. Mengacu pada data Refinitiv, dalam 15 hari pertama April, sebanyak 8,7 juta ton batu bara dibongkar di pelabuhan-pelabuhan China. Jika dipertahankan, maka total impor sebulan penuh pada April akan sekitar 17,4 juta ton.
Dirundung Malang, Harga Batu Bara Anjlok 5,2% Pekan Lalu
Jakarta, CNBC Indonesia – Di sepanjang pekan lalu, harga batu bara termal kontrak futures Newcastle mengalami penurunan yang signifikan. Harga komoditas batu bara kian terpuruk seiring dengan kurang bergairahnya pasar batu bara seaborne (jalur laut) di kawasan Asia Pasifik di tengah merebaknya pandemi corona.
Harga batu bara termal Australia mengalami koreksi pada Jumat (17/4/2020) pekan lalu. Di hari terakhir perdagangan, harga batu bara turun tipis 0,09% ke level US$ 56,3/barel. Namun secara mingguan harga batu bara termal acuan telah ambles 5,22% (week on week/wow)
Ada dua faktor pemicu utama amblesnya harga batu bara. Pertama, ada tanda-tanda dua negara konsumen batu bara terbesar di dunia yakni China dan India lebih memilih pasokan batu bara domestik ketimbang impor.
Dimulai dari China terlebih dahulu, harga batu bara lokal yang sudah ambles 13,6% dari puncaknya tahun ini sebesar 573 yuan ($ 80,99) per ton pada 26 Februari menjadi 473 yuan pada hari Rabu pekan lalu.
Ini berarti bahwa pihak berwenang sekali lagi dapat mendorong pedagang dan pembangkit listrik untuk membatasi impor batu bara termal, dan beralih mendorong permintaan dan harga domestik. Artinya ini akan jadi masalah untuk kinerja impor batu bara China di bulan Mei dan Juni.
Prospek permintaan batu bara India untuk bulan Mei dan selanjutnya juga tampak suram seiring dengan pemberlakuan lockdown nasional di negara tersebut.
Menteri batu bara India telah menulis surat yang isinya mendukung pembelian batu bara lokal dari pada impor, melansir Economic Times. Tentu hal ini juga akan menekan permintaan batu bara impor terutama dari Indonesia yang memasok batu bara berkalori rendah harga murah ke India.
Selain adanya potensi penurunan impor akibat kebijakan yang mungkin diambil oleh kedua negara tersebut, harga batu bara juga ikut tertekan dengan kinerja impor si batu hitam di negara-negara konsumennya di kawasan Asia.
Salah satu indikator pelemahan yang terjadi adalah aktivitas bongkar muat di pelabuhan di negara-negara importir batu bara terbesar seperti China, India dan Jepang pada paruh pertama April ini mengalami perlambatan.
Impor batu bara China sebenarnya sudah loyo pada dua pekan awal bulan April ini. Mengacu pada data Refinitiv, dalam 15 hari pertama April, sebanyak 8,7 juta ton batu bara dibongkar di pelabuhan-pelabuhan China. Jika dipertahankan, maka total impor sebulan penuh pada April akan sekitar 17,4 juta ton.
Bagaimanapun juga impor batu bara bulan April China diperkirakan lebih rendah dari bulan Maret sebesar 23,4 juta ton, dan 21,1 juta dari April tahun lalu.
Kisah yang mirip juga terjadi di India. Impor batu bara India hingga pertengahan bulan April sebanyak 5,7 juta ton. Angka ini jauh lebih rendah dari periode yang sama tahun lalu yang mencapai 11 juta ton.
Walau masih ada banyak kapal yang membawa batu bara menuju India terutama dari Indonesia, impor batu bara India bulan April diperkirakan akan masih stagnan atau dipertahankan sama dengan bulan sebelumnya.
Sementara itu impor batu bara Jepang hingga pekan kedua April mencapai 5,7 juta ton. Impor batu bara Jepang bulan ini diperkirakan sebesar 11,4 juta ton. Turun dari periode sebelumnya sebesar 14,9 juta ton pada Maret 2020 dan 13,2 juta ton pada April 2019.
Pelemahan permintaan batu bara di Jepang juga dipicu oleh anjloknya harga gas. Harga gas alam cair (LNG) yang sudah ambles di bawah batas ambang memicu Jepang untuk beralih dari batu bara ke gas.
Dengan gambaran permintaan batu bara yang suram dari ketiga negara konsumen batu bara terbesar di dunia yakni China, India dan Jepang, maka wajar saja harga batu bara terus mengalami tekanan.