Yogyakarta, Pojoksumsel.com -Sejumlah buruh di Yogyakarta menyuarakan keluhan terhadap Upah Minimum Kerja (UMK) yang dianggap rendah.
Kesenjangan ini tidak sesuai dengan standar Kebutuhan Hidup Layak (KHL) di Jogja yang mencapai angka fantastis, Rp 4,7 juta per bulan.
Seorang buruh dari pabrik meubel, Saparyanto, menyampaikan bahwa meskipun mampu memenuhi kebutuhan pokok seperti sandang dan pangan, kepemilikan rumah masih menjadi mimpi jauh.
“Dengan gaji bulanan Rp 24 juta, mencari rumah di Jogja adalah tugas yang mustahil. Kehadiran rumah orang tua adalah berkah bagi saya. Namun, untuk memiliki rumah sendiri dengan gaji seperti ini, hanya cukup untuk makan sehari-hari,” ungkapnya.
Ia juga menyoroti besarnya UMK yang dirasakan tidak sebanding dengan tanggung jawabnya sebagai kepala keluarga.
Meski telah bekerja lebih dari setahun, upahnya masih terpaku pada standar UMK.
Maisaroh, buruh perempuan di pabrik sarung tangan, menambahkan bahwa impian memiliki Kredit Pemilikan Rumah (KPR) hanyalah khayalan belaka.
Meskipun mencoba mengatur keuangan dengan baik, namun angka penghasilan yang terbatas membuatnya harus bertahan dengan tinggal di rumah orang tua.
Dina, buruh lainnya, menyampaikan ketidakwajaran harga properti di Jogja yang semakin meningkat. Kesulitan mencari hunian yang layak semakin terasa, terutama dengan UMK yang tetap rendah.
Ia berpendapat bahwa untuk hidup layak, upah yang diterima setidaknya harus mencapai Rp 4-5 juta, sementara kenyataannya masih berada di kisaran Rp 2,2 juta.
Dalam peringatan Hari Buruh Sedunia, buruh-buruh Jogja menyoroti kesenjangan antara UMK dengan KHL yang tinggi di wilayah tersebut.
Meskipun berbagai aksi dilakukan, solusi konkret untuk meningkatkan kesejahteraan buruh masih menjadi tanda tanya besar.