PojokSumsel.com – Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menjelaskan, Penyelenggara Sistem Elektronik (PSE) yang belum terdaftar sampai 20 Juli 2022 tidak akan langsung diblokir.
Hal ini sebagai jawaban atas maraknya kabar yang menyebut, aplikasi-aplikasi seperti Google, WhatsApp, maupun Instagram, akan diblokir setelah tanggal 20 Juli 2022 karena tidak melakukan pendaftaran ke mereka.
Semuel Abrijani Pangerapan, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika, Kemkominfo menegaskan, pihaknya akan menerapkan sanksi yang bertahap kepada platform digital, apabila belum mendaftar sampai tenggat waktu.
“Sanksi itu diberikan oleh Menteri (Menkominfo Johnny G. Plate). Kalau menteri sudah buat statement, jadi nanti kita berikan masukan ada niatan tidak,” kata Semuel dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (19/07) dilansir dari liputan6.com.
Semuel juga mengatakan, kementerian akan melihat terlebih dulu platform-platform digital dengan lalu lintas atau traffic besar di Indonesia.
“Terkait sanksi itu hak prerogatif menteri dan itu ada tahapannya, dari teguran tertulis, peringatan, habis itu ada sanksi denda, dan terakhir adalah pemblokiran,” imbuh Semuel.
“Jadi kita bilang batas waktunya kan tanggal 20 jam 23.59, 21-nya jam kerja akan kita review, mereka (yang belum daftar) akan kena sanksi. Sanksinya ada tiga: teguran, tertulis, denda, atau pemutusan sementara,” tegasnya.
Meski begitu, Semuel tidak menyebutkan berapa jarak waktu yang diberikan untuk platform melakukan pendaftaran setelah mendapatkan teguran, atau berapa denda yang akan dikenakan.
Adapun, per 21 Juli 2022, setelah tenggat waktu pendaftaran PSE, Kemkominfo bakal mulai menyurati platform-platform digital yang belum mendaftar ke Kominfo.
Lebih lanjut, menurut Semuel, bagi PSE yang baru muncul atau baru dirilis setelah tanggal 20 Juli 2022, Kominfo masih membuka pendaftaran. “Jadi mereka sebelum beroperasi bisa mendaftarkan. Kami terbuka terus,” ujarnya.
Selain itu, PSE yang diblokir pun juga masih bisa mencabut pemblokiran dengan cara melakukan pendaftaran. Sehingga, pemblokiran yang diterapkan pada sebuah platform sifatnya tidak permanen.
“Semua pemblokiran terkait PSE itu bentuknya sementara. Kalau mereka memperbarui datanya atau mereka mendaftarkan ya kita cabut namanya, itu proses normalisasi,” kata Semuel.
Menurutnya, begitu suatu platform digital sudah terdaftar, maka nama mereka akan dicabut dari daftar blokir. Semuel mengungkapkan, beberapa platform yang sudah banyak digunakan masyarakat sebenarnya sudah melakukan pendaftaran PSE.
Beberapa di antara PSE privat baik domestik dan asing tersebut seperti TikTok, Spotify, Google Cloud, Mobile Legends, Traveloka, Gojek, Telegram, layanan-layanan banking, Netflix, hingga aplikasi KAI.
“Pertambahannya per menit. Kita lagi ngomong itu bertambah,” kata Semuel. “Itu bertambah terus, begitu mereka terdaftar, mereka muncul di situ (situs pse.kominfo.go.id) nama layanannya,” imbuhnya.
Semuel menambahkan, apabila platform-platform digital ini melihat Indonesia sebagai mitra negara yang potensial bagi mereka untuk beroperasi, sudah seharusnya mereka melakukan pendaftaran.
Selain itu, Semuel menegaskan bahwa pendaftaran PSE bukanlah sebuah pembatasan. “Ini tidak membatasi. Berarti ada niat yang lain dong kalau mereka tidak mau mendaftar.”
“Kita saja bertamu di rumah saudara lebih dari 24 jam harus lapor Pak RT. Mereka sudah bertahun-tahun bisnis di Indonesia, saya rasa tidak mungkin mereka tidak mau mendaftar,” kata Semuel.
“Kalau dikaitkan dengan pengendalian ini lain lagi, ini benar-benar pendataan. Pengendalian sudah ada aturannya,” kata Semuel.
Semuel mengatakan, pendaftaran PSE ini dilakukan agar pemerintah mengetahui siapa saja platform digital yang beroperasi secara digital di Indonesia.
“Saya rasa ini bukan hanya Indonesia, semua negara punya metodenya masing-masing dan kita modelnya adalah pendaftaran. Jadi saya rasa tidak ada kaitannya (dengan pengendalian), karena ini benar-benar tentang pendataan.”
Menurut Semuel, apabila platform digital tidak melakukan pendaftaran, maka mereka sendiri yang akan rugi karena dinilai “tidak melihat Indonesia sebagai potential market mereka.”
Selain itu, Semuel juga menyebut masih ada alternatif platform lain apabila sebuah PSE tidak melakukan pendaftaran serta membuka kesempatan anak bangsa untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Intinya kita tegas. Ini adalah regulasi yang ada, ini adalah tata kelola, bukan pengendalian. Supaya kita tahu siapa saja yang beroperasi di Indonesia dan apa yang mereka operasikan,” tegas Semuel.