MUARA ENIM, POJOKSUMSEL – Dengan Penuh Khidmat dan Sederhana. Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama bersama Pimpinan Cabang GP Ansor, Pimpinan Cabang Muslimat dan Pimpinan Cabang Lembaga Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama serta Kader NU Kabupaten Muara Enim melaksanakan Upacara Bendera Merah Putih dalam rangka Memperingati Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-76 yang bertempat di Lapangan Kantor Bersama PCNU Kabupaten Muara Enim.
(Selasa 17/8/21)
Bertindak sebagai Inspektur dan Pembina Upacara Beliau Al-Mukarom Kiayi Miftah Kaprawi Rois Syuriah PCNU Kabupaten Muara Enim dan Komandan upacara Satkorcab Banser Astaman Joni
Dalam momentum hari kemerdekaan ini ketua Tanfidziyah PCNU Kabupaten Muara Enim Gus Ahmad Mujtaba (Gus Amu) mengatakan perlu diketahui di antara para pejuang yang berusaha merebut dan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dari tangan penjajah adalah para kiai dan para santri.
Para kiai dan santri melakukan berbagai cara untuk merebut kemerdekaan, mulai dengan cara mengangkat senjata sampai dengan mendirikan organisasi. Perbedaan cara dengan substansi yang sama, dilakukan karena keadaan terus berubah dan tantangannya pun berbeda. Jika sebelumnya hanya melalui pesantren dan bergerak sendiri-sendiri, para kiai mencoba dengan mendirikan jamiyyah, yang kemudian kita kenal hari ini sebagai Nahdlatul Ulama.
Dalam catatan sejarah pertumbuhan dan perkembangan NU, sehari sebelum Nahdlatul Ulama berdiri, terjadi dialog antara KH Wahab Chasbullah dengan KH Abdul Halim Leuwimunding Majalengka
Apakah organisasi yang akan didirikan para kiai itu memiliki tujuan kemerdekaan?” tanya Kiai Abdul Halim Leuwimunding.
“Iya, umat Islam menuju ke jalan itu. Umat Islam tidak leluasa sebelum negara kita merdeka,” jawab Kiai Wahab.
Apabila diperhatikan, nama Nahdlatul Ulama berarti kebangkitan ulama, sejalan dengan kondisi perjuangan umat Islam saat itu, yakni sedang dalam perjuangan membangkitkan kesadaran nasional.
NU sebagaimana organisasi yang didirikan berkeinginan menegakkan kembali umat Islam sebagai mayoritas. Meski demikian, pada faktanya, tokoh NU, melalui KH Wahid Hasyim tidak menjadikan mayoritas sebagai sesuatu yang mutlak. Dia rela menghilangkan tujuh kata pada Piagam Jakarta yang dipermasalahkan pada waktu itu. Dan hal inilah yang selalu diperjuangkan NU dalam berbagai situasi.
Untuk membaca tujuan NU demi kemerdekaan Indonesia bisa dengan membaca pergerakan dan pemikiran tokoh-tokoh pendirinya, yaitu Hadratussyekh KH Hasyim Asya’ri, KH Wahab Chasbullah, KH Wahid Hasyim, KH Zainul Arifin, KH Masykur, KH As’ad Syamsul Arifin, KH Idham Chalid, KH Syam’un, KH Zainal Musthafa. Mereka adalah tokoh-tokoh NU diakui negara sebagai pahlawan nasional serta kiai-kiai lain yang berjuang tanpa gelar pahlawan.
Kita hari ini mengenal Hari Santri, peristiwa itu mengacu kepada perjuangan santri dan kiai yang dimulai dengan Resolusi Jihad fi Sabilillah dan Fatwa Jihad fi Sabilillah. Peristiwa itu yang memicu pertempuran 10 November di Surabaya.
Jauh sebelumnya, Kiai Wahab Hasbullah menggubah lagu Ya Lal Wathon yang saat ini menjadi lagu wajib bagi warga NU. Lagu itu menggunakan bahasa Arab yang berisi kecintaan warga NU kepada tanah airnya. Hubbul wathan minal iman. Tokoh NU dengan tanpa ragu menegaskan bahwa mencintai tanah air sebagai bagian dari iman.(mam)