PojokSumsel.com – Lagi-lagi Israel. Negara ini kembali menunjukkan kesaktiannya dengan aksi kekerasan yang tak mempan meski dikecam dan dikutuk seluruh dunia. Betapa tidak, peristiwa penembakan wartawan Al-Jazeera, Shireen Abu Akleh (51) pada Rabu (11/05) yang diduga dilakukan oleh tentara Israel di tenda pengungsi di Kota Jenin, Tepi Barat tidak serta merta mendatangkan aksi protes negara-negara di dunia. Tidak seperti tanggapan dunia terhadap aksi Rusia terhadap Ukraina yang sontak mendatangkan protes, kecaman bahkan kutukan dari berbagai belahan dunia.
Padahal, pada saat peristiwa berdarah itu, Shireen mengenakan rompi bertuliskan “PERS” yang mudah dilihat dan mengenakan safety helmet. Semestinya, tentara Israel yang paling dungu pun tahu kalau ia adalah seorang wartawan yang tengah bertugas.
Seperti biasa, mumpung belum ada atau tidak ada investigasi, pihak Israel melakukan aksi “lempar batu sembunyi tangan”. Pihak militer Israel menolak tuduhan telah menembak mati wartawan Al-Jazeera itu. Tak hanya itu, militer Israel menuding Palestina yang telah melakukan penembakan. Namun Kepala Biro Al-Jazeera Walid Al-Omary di Ramallah menerangkan bahwa tidak ada penembakan yang dilakukan oleh orang-orang bersenjata di Palestina.
Sebagaimana diberitakan Anadolu News Agency Turki, 11 Mei 2022, Shireen ditembak di bagian wajahnya sehingga menghembuskan napas terakhir. Sementara seorang wartawan lainnya, Ali Al-Samoudi dari surat kabar Quds tertembak di bagian punggungnya, dan harus dirawat.
Namun aksi protes dan kecaman atas dua penembakan wartawan itu sejauh ini hanya mengalir dari masyarakat dan kalangan pers melalui berbagai saluran media pers dan media sosial. Asisten Menteri Luar Negeri dan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Qatar, Lolwah Alkhater secara pribadi juga turut mengecam penembakan tersebut lewat tweeter-nya.
Ketua Umum Serikat Media Siber Indonesia (SMSI) Firdaus memberikan kecaman tertulis dalam siaran pers menanggapi peristiwa berdarah itu yang diterima PojokSumsel.com, Kamis (12/05). Menurutnya, kejadian itu merupakan teror besar terhadap wartawan dan merupakan tindakan biadab terhadap wartawan yang bertugas untuk kepentingan umum.
“Penembak jelas melawan hak asasi manusia yang melindungi wartawan, dan sekaligus melecehkan pers seluruh dunia yang baru saja memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia. Kami minta Persatuan Bangsa-Bangsa memberi perhatian khusus pada kasus penembakan wartawan tersebut,” kata Firdaus memendam kegeramannya.
Firdaus mengimbuhkan, apa yang dilakukan tentara terhadap wartawan Al-Jazeera, Shireen Abu Akleh dan wartawan surat kabar Al Quds, Ali Al-Samoudy jelas melanggar Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) tahun 1948.
Firdaus yang didampingi Sekretaris Jenderal SMSI Mohammad Nasir, menyatakan PBB harus turun tangan untuk melakukan penyelidikan kasus penembakan wartawan. Penembaknya harus diberi sanksi oleh pihak yang berwenang di PBB supaya menjadi perhatian pihak-pihak yang sedang bertikai.
Yang lebih menyakitkan kalangan pers, kata Firdaus melanjutkan, kejadian itu berlangsung seminggu setelah peringatan Hari Kebebasan Pers se-Dunia (World Press Freedom Day). Di mana masyarakat pers dunia selama tiga hari, 2-5 Mei memperingati Hari Kebebasan Pers se-Dunia yang jatuh pada 3 Mei tahun ini, dipusatkan di Punta del Este, Uruguay.
Peringatan Hari Kebebasan Pers Internasional yang dimotori oleh United Nations Educational, Scientific, and Cultural Organization (UNESCO) di Uruguay ditandai dengan konferensi melalui online dan offline yang membahas perlindungan keamanan wartawan, media digital dan mencari solusi tantangannya ke depan. Konferensi dihadiri oleh peserta terdaftar 3.400 insan pers dari 86 negara.
Hari Kebebasan Pers se-Dunia diperingati setiap tahun sebagai hasil keputusan Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1993. Tujuannya untuk merayakan prinsip-prinsip dasar kemerdekaan pers serta memberi perlindungan terhadap wartawan di seluruh dunia. Selain itu untuk mengingatkan semua pihak agar menghormati dan menegakkan hak kebebasan berekspresi sesuai pasal 19 DUHAM 1948.