PojokSumsel.com – Dewan Pers bertemu dengan Menko Polhukam Mahfud Md dalam rangka mendiskusikan soal draf Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP). Dewan Pers bersama masyarakat sipil lainnya menilai ada 14 pasal dan 9 klaster dalam RKUHP yang berpotensi melemahkan kebebasan pers.
Saat bertemu Menko Polhukam, Dewan Pers dipimpin Ketua Dewan Prof Azyumardi Azra. Ikut mendampingi Wakil Ketua Dewan Peras M Agung Dharmajaya, anggota Dewan Pers: Arif Zulkifli, Ninik Rahayu, Yadi Hendriana, A Sapto Anggoro, serta anggota konstituen Dewan Pers Sasmito Madrim.
Pertemuan berlangsung di Kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Kamis (28/07). Mahfud menjelaskan draf RKUHP sudah lama dibahas. Rencananya, RKUHP ini diberlakukan sebagai hadiah kemerdekaan Republik Indonesia.
“Masih ada waktu pembahasan. Mungkin jika ada masalah, bukan ditunda tapi dilakukan perbaikan. Kalau jelas ada pasal yang membahayakan, ya dihapus atau direformulasi,” tutur Mahfud, Jumat (29/07) seperti dilihat di laman resmi Dewan Pers.
Menurut Mahfud, RKUHP tersebut dulu sudah akan diketok. Namun, lantaran ada demo besar, Presiden Jokowi pada 2019 minta pengesahannya ditunda.
Kepada Dewan Pers, Mahfud minta catatan reformulasi terhadap pasal-pasal yang dinilai bermasalah. “Sampaikan reformulasi secara konkret sekaligus simulasinya. Besok akan saya sampaikan ke Kemenkumham. Wamenkumham akan kita panggil minggu depan,” ungkapnya.
Ia menambahkan KUHP adalah politik hukum penting, pemerintah berharap secepatnya berlaku saat peringatan kemerdekaan nanti karena KUHP yang berlaku saat ini merupakan produk kolonial.
Namun, Dewan Pers bersama masyarakat sipil lainnya melihat ada 14 pasal dan 9 klaster yang potensial melemahkan kebebasan pers. Maka perlu dihapus atau direformulasi. Menurut Mahfud yang didampingi Deputi Hukum dan HAM Sugeng Purnomo, ada sekitar 700-an pasal dalam RKUHP. “Jika ada usulan 14 pasal, maka jumlah itu tidaklah banyak,” kata Mahfud.
Pihaknya tidak mau menjamin penundaan berlakunya KUHP tersebut. Ia hanya menegaskan, sebelum RKUHP maju ke persidangan harus dibahas secara jelas. Menko Polhukam berjanji akan memanggil Kemenkumham untuk membicarakannya dan akan melibatkan Dewan Pers.
Sementara itu, Prof Azra melaporkan, pada 2018, Dewan Pers sudah mengajukan usulan 8 klaster pasal yang dinilai bermasalah. Namun, masukan dari Dewan Pers dan konstituen tidak dimasukkan sama sekali. Dalam draf sekarang ini, urainya, malah ada 9 klaster dari 22 pasal umum yang mengganggu hak berekspresi, 14 di antaranya berkaitan dengan kemerdekaan pers.
Dewan Pers juga sudah ketemu dengan konstituen Dewan Pers dan para pemangku kepentingan. Pertemuan dengan Kemenkumham yang dipimpin Wamenkumham Prof Edward Omar Sharif Hiariej dan tim perumus sudah dilakukan Dewan Pers pekan lalu.
Rumusan reformulasi RKUHP diminta segera oleh Mahfud Md. Dewan Pers bekerja cepat, pada Kamis (28/7) juga melakukan penyusunan reformulasi dengan melibatkan Wakil Ketua Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro, ahli hukum Bivitri Susanti, mantan Ketua YLBHI Asfinawati, Tim LBH Pers dipimpin Ade Wahyudin, dan lain-lain.
Samsan Ngandro berpendapat pasal terkait dengan pers yang mengandung delik harus diperbaiki. Dewan Pers juga minta supaya pasal-pasal bermasalah di-drop atau direformulasi.
Arif Zulkifli menyatakan pemberitaan soal terorisme pun bisa diperkarakan karena harus lengkap. “Pemberitaan pers pasti yang terdepan dan belum lengkap. Demikian juga soal penghinaan pada presiden hingga lurah/kepala desa, bisa menjadi perkara,” paparnya.
Ia khawatir kelak ada self censorship yang tinggi di media, ini adalah berbahaya bagi kelangsungan kehidupan pers dan masyarakat. Sedangkan Ninik menuturkan, masih ada waktu untuk mengawal RKUHP. Dia berharap, pasal yang tak seharusnya ada bisa dikeluarkan. “Intinya adalah reformulasi,” kata dia.
Adapun Sasmito mengutarakan, secara prinsip AJI tidak menolak RKUHP itu. Tapi, RKUHP masih perlu masukan dari masyarakat luas dan penyempurnaan sehingga tidak buru-buru diberlakukan.