PojokSumsel.com – Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF), Franky Welirang mengungkapkan, memaknai pernyataan soal potensi harga mie instan sebagai peringatan waspada. Dia menjelaskan, harga gandum memang tidak baik-baik. Tapi sudah sejak 2021, bukan lagi di saat pecahnya perang Ukraina-Rusia.
Menurut Franky, harga gandum sebenarnya sudah naik 68 persen pada 2021 lalu, “Penyebabnya adalah kegagalan panen akibat perubahan iklim. Yang gagal terbesar ada di Amerika dan Kanada, di mana mereka gagal panen dan hasil produksinya turun 40 persen. Itulah yang memicu secara bertahap, sepanjang 2021, harga gandum naik sampai bulan Desember. Data ada itu,” kata Franky, Jumat (12/08) dilansir dari cnbcindonesia.com.
Jika dirinci, Franky pun memaparkan, pembentuk harga mie instan. Mulai dari karton, minyak, hingga bawang. “Ini 65 gram. Ada minyak gorengnya. Berapa banyak yang terserap? Sisanya baru terigu. Kalau terigu naik 500 perak, ya kali 65 gram. Ini berapa duit, gitu loh. 1 kg itu 1.000 gram, bagi 65 gram, berapa piece? Gimana bisa naik 300 persen?,” kata Franky.
Hanya saja, dia mewanti-wanti pernyataan mie instan bisa naik harga 3 kali lipat bisa memicu perilaku spekulan. “Itu bisa memicu pedagang berspekulasi. Karena itu saya katakan mungkin 3 kali lipat itu berlebihan. Karena nggak wajar dalam posisi itu,” katanya.
“Saya coba membaca, banyak orang nggak membaca, beliau mengatakan tidak 3 kali lipat. Yang bilang 3 kali lipat kan media. Bisa naik 3 kali lipat, bisa. Nah nggak pernah ada yang lihat kata bisa,” katanya.
Menurut Franky, perang Rusia-Ukraina menambah lonjakan harga gandum 18 persen. Ukraina sendiri, kata dia, kemungkinan mengalami hambatan panen akibat perang. Juga, tidak bisa mengirimkan gandum ke negara tujuan ekspor akibat perang. “Pasar mereka tentu ke Eropa, Timur Tengah, Turki, Afrika itu nomor satu. Baru kita yang di Asia,” ujarnya.
Franky pun menjelaskan keberagaman gandum, yang diperuntukkan untuk pangan dan pakan. Juga, berdasarkan kandungan protein yang mempengaruhi pemanfaatannya. Baik untuk biskuit, roti, juga mie instan.
“Awalnya, negara yang konsisten mengekspor adalah Amerika, Kanada, dan Australia. Australia paling dekat dengan kita, kapal cuma 6 hari sampai. Indonesia juga pernah mengimpor gandum dari China, Pakistan. Kami, di industri, tentu risk management. Nggak menggantungkan diri dari satu negara. Ada negara-negara yang on off. India nggak selalu ekspor,” ujarnya.
Terkait harga, lanjut dia, saat ini belum naik sampai 300 persen. Tertinggi adalah kenaikan 68 persen di tahun 2021, dilanjutkan 18 persen akibat perang Rusia-Ukraina. “Gandum harga naik segini pernah naik seperti ini, di tahun 2008. Bedanya rupiah dolarnya 9.000, sekarang 14.000. Kita sudah pengalaman di industri. Sebagai industri kami tahu sejarahnya. Pemerintah, menterinya kan ganti-ganti, wajar saja nggak tahu,” pungkas Franky.